Ibnu Sina
Syeikhur
Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal
dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah
desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang
berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan
ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi
membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar
Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba
ilmu.
Dengan
demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas
keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih
berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi
terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366
hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan
mengobatinya.
Berkat
itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan Istana Samani yang besar. Setelah masuk perpustakaan, Ibnu
Sina merasa terkagum dengan isi perpustakaan. Ia menyampaikan perasaan hatinya
:
“Semua buku yang aku inginkan ada di
situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah
mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan
pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan
semaksimal mungkin memanfaatkannya”.
Menginjak usia yang 18 tahun, Ibnu Sina telah berhasil menyelesaikan semua
bidang ilmu. Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu
seperti hikmah, mantiq dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Kesibukannya
di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya
sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami. Konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan
antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina.
Bahkan perjalanan panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama
beberapa bulan di penjara Tajul Muk, tak menghalangi beliau untuk melahirkan
ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.
Ketika
berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah memperoleh buku yang
diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu
kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang diberi nama kitab
Al-Syifa’. Ketika harus bepergian beliau menulis buku-buku kecil yang disebut
dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan
menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan metode yang
indah.
Di
antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam
filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’
ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu
alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling
otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat
dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Dalam
ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi
kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum
ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan
kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi.
Kitab Al-Qanun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Perancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab tentang kumpulan metode pengobatan
purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum
pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibnu Sina juga memiliki peran besar dalam
mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan
menjalankan observatorium untuk ilmu bintang. Ia juga menyumbangkan hasil
penelitiannya tentang ruang hampa, cahaya dan panas di bidang energy.
Dalam bukunya yang berjudul “De Conglutineation
Lagibum” Ibnu Sina memberikan pernyataan yang menarik “Kemungkinan Gunung
tercipta karena dua sebab. Yaitu karena menggelembungnya kulit luar bumi yang
ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Dan karena poses air yang mencari
jalan untuk mengalir. Proses ini mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama
dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi”.
Dalam filsafah Ibnu Sina menjalani dua faham yang
berbeda. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafah
paripatetik. Pada periode ini, ibnu sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran
Aristoteles. Yang selanjutnya ia menarik diri dari paham tersebut dan cenderung
pada pemahaman iluminasi.

0 komentar:
Posting Komentar