background image

Senin, 06 Mei 2013

Ilmuwan Islam


Ibnu Sina

Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan Istana Samani yang besar. Setelah masuk perpustakaan, Ibnu Sina merasa terkagum dengan isi perpustakaan. Ia menyampaikan perasaan hatinya :
 “Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya”.
Menginjak usia yang 18 tahun, Ibnu Sina telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu. Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami. Konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan perjalanan panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Muk, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.
Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang diberi nama kitab Al-Syifa’. Ketika harus bepergian beliau menulis buku-buku kecil yang disebut dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan metode yang indah.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi.
Kitab Al-Qanun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab tentang kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibnu Sina juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu bintang. Ia juga menyumbangkan hasil penelitiannya tentang ruang hampa, cahaya dan panas di bidang energy.
Dalam bukunya yang berjudul “De Conglutineation Lagibum” Ibnu Sina memberikan pernyataan yang menarik “Kemungkinan Gunung tercipta karena dua sebab. Yaitu karena menggelembungnya kulit luar bumi yang ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Dan karena poses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses ini mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi”.
Dalam filsafah Ibnu Sina menjalani dua faham yang berbeda. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafah paripatetik. Pada periode ini, ibnu sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Yang selanjutnya ia menarik diri dari paham tersebut dan cenderung pada pemahaman iluminasi.

0 komentar:

Posting Komentar