Khaulah Binti Tsa’labah (Wanita yang Aduannya Didengar Allah)
Rini Ummu Rahaykal
Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah
Ghanam bin Áuf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau
dinikahi oleh Áus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang
beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan
yang disertai Rasulullah SAW. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak
laki-laki yang bernama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam masalah
yang membuat Aus marah, dia berkata : “Bagiku engkau ini seperti punggung
ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk
bersama orang-orang. Beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan khaulah.
Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan
perasaan khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap
kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam. Khaulah berkata :
“Demi yang jiwa khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku
karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku
sehingga Allah dan Rasul-Nya yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang
menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulllah SAW, lalu dia duduk di hadapan
beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya.
Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan dialog dengan nabi tentang urusan
tersebut. Rasulullah SAW bersabbda Kami belum pernah mendapati perintah berkenaan
urusan tersebut… aku melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita mukminah ini mengulangi perkataannya dan penjelasan kepada
Rasulullah SAW apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika ia harus cerai dengan
suaminya, namun Rasulullah SAW tetap menjawab “Aku tidak melihat melainkan
engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke
langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua
matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau
menghadap kepada yang tiada akan rugi siapapun yang berdoa kepada-Nya. Beliau
berdoá “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang
menimpa diriku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminin semacam khaulah, beliau
berdiri di hadapan Rasulullah dan berdialog untuk menerima fatwa, adapun
istighasyah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah taála. Ini adalah
bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat
kepada Rasulullah saw.
Tiada henti-hentinya wanita ini berdoá sehingga suatu ketika Rasulullah
SAW pingsan sebagaimana biasa beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian
setelah rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda “Wahai Khaulah, sungguh
Allah telah menurunkan Al Qurán tentang dirimu dan suamimu,” kemudian beliau
membaca firman-Nya
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mendengar lagi Maha melihat. Orang-orang yang
menzhihar istri diantara kamu, tiadalah istri mereka itu adalah ibunya. Ibu-ibu
mereka itu tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan perkataan sungkar dan dusta. Dan sesungguhnya
Allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib
atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri tersebut bersama kembali.
Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Atau jika tidak didapati seorang budak maka wajib bagi mereka berpuasa
dua bulan berturt-turut, atau bisa juga dengan memberi makan 60 orang miskin.
Kemudian
Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zihar:
“Perintahkan
kepada suami Khaulah untuk memerdekakan seorang budak.”
Khaulah
menjawab “Ya Rasulullah... dia tidak memiliki seorang budak yang bisa ia
merdekakan”
“Jika demikian
perintahkan kepadanya untuk Shaum dua bulan berturut-turut.”
“Demi Allah,
dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.”
“Perintahkan
kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin.”
“Demi Allah, Ya
Rasulullah... dia tidak memilikinya.”
“Aku bantu
dengan separuhnya.”
“Aku bantu
separuhnya yang lain, Wahai Rasulullah.”
“Engkau benar
dan baik, maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya,
kemudian bergaullah dengan anak pamanmu itu secara baik”
Inilah kisah
seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak anak Adam yang
mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang
wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia
dan besar perhatian islam terhadapnya.
Ummul mukminin
Aisyah r.a. berkata tentang hal ini; “Segala puji bagi Allah yang maha luas
pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang
mengajukan gugatan kepada Rasulullah SAW, berbincang-bincang dengan Rasulullah
SAW. Sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa-apa yang dia
katakan. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat “Sesungguhnya Allah
telah mendengar perktaan wanita yang mengajukan gagatan kepada kamu tentang
suaminya dan mengadukannya kepada Allah”
Inilah wanita
mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khattab
r.a. Saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau
berkata “Wahai Umar, aku telah mengenalmu semenjak namamu dahulu masih Umair
tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau menggembala kambing dengan
tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul
Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu. Ketahuilah barang
siapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya
dan barang siapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa
yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Azab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul mu’minin
berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi Al Jarud al Abdi yang menyertai Umar bin Khattab tidak tahan
dan mengatakan kepada Khaulah “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul
mu’minin wahai wanita!” Umar kemudian menegurnya “Biarlah dia… tahukah kamu ? siapakah
dia ? beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit
yang ke tujuh,” maka umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab berkata “Demi Allah seandainya
beliau tidak menyudahi nasehatnya sehingga beliau selesaikan apa yang dia
kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mendengarkan
shalat kemudian mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.

0 komentar:
Posting Komentar