Pengorbanan
Siti Hajar
Nabi Ibrahim dan Siti Sarah sudah lama berumah tangga,
namun mereka tidak juga dikurniakan buah hati. Siti Sarah mengharapkan supaya
Nabi Ibrahim menikah kembali. Siti Sarah merestui Siti Hajar menjadi istri
suaminya. Pada mulanya, Nabi Ibrahim keberatan untuk menikah kembali dengan
wanita lain. Namun, Siti Sarah bersikeras dan akhirnya Nabi Ibrahim setuju untuk
memperistrikan Siti Hajar.
Pernikahan yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar
telah membuahkan buah hati dalam rahim Siti Hajar. Nabi Ibrahim sangat gembira
dengan kabar tersebut. Ia mengharapkan Siti Sarah turut merasakan kegembiraan
atas kehamilan Siti Hajar. Namun, berita kehamilan itu Justru membuatkan Siti
Sarah tidak senang.
Kian hari rasa cemburunya kian menebal, terutama
selepas kelahiran Ismail, hingga Siti Sarah mengadukan kepada suaminya bahwa ia
tak ingin lagi melihat batang hidung Siti Hajar dan anaknya. Ia menyuruh Nabi
Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan anaknya pergi jauh, hingga ia tak kan bertemu
lagi dengan Siti Hajar.
Nabi Ibrahim dan Siti Hajar serta anak mereka lantas
menuju ke Baitul Haram. Nabi Ibrahim membawa istrinya Hajar dan anak semata
wayangnya Isma’il menuju suatu lembah yang tidak ada rumput yang tumbuh
sekalipun dan hanya meninggalkan air (dalam sebuah riwayat, airnya pun tinggal
sedikit).
Setelah Nabi Ibrahim menempatkan anak dan istrinya itu
kemudian beliau berbalik badan untuk kembali lagi ke daerah asalnya. Nabi
Ibrahim bergegas pulang dengan menitihkan air mata namun beliau tidak menoleh
ke belakang walaupun istrinya Hajar berkali-kali memanggil beliau. Nabi Ibrahim
tidak memperdulikan panggilan dari isterinya dan tetap melanjutkan langkahnya
yang berat.
Hajar mengejar suaminya dan berkata, ”Apakah Allah
yang memerintahkan kepadamu untuk melakukan ini?” Ibrahim menjawab pendek,
”Benar.” Maka keluarlah suatu pernyataan dari Hajar yang melukiskan ketegaran
dan ketawakalan jiwa beliau. ”Kalau Allah yang memerintakan demikian ini,
niscaya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.” Itulah suatu pernyataan yang
keluar dari seorang hamba yang menunjukkan kekuatan iman dan ketinggian sikap
tawakalnya yang mendapat tarbiyah dari seorang hamba yang pilihan juga, Ibrahim
sang Kekasih Allah.
Siti Hajar adalah lambang wanita sejati yang taat
kepada suami dan perintah Allah. Segala kesukaran, kepahitan, keresahan yang
ditempuh Siti Hajar bersama anak kecilnya, Ismail ketika ditinggalkan Nabi
Ibrahim di tengah-tengah padang pasir kering kerontang, adalah lambang
kesetiaan dan kepatuhan seorang isteri kepada peraturan suaminya.
Contoh yang ditunjukkan oleh Siti Hajar, yang sanggup
menempuh berbagai kesusahan hidup semata-mata kerana ketaatannya terhadap
perintah Allah dan suaminya. Hal ini adalah suatu contoh cukup baik untuk
diteladani bagi setiap istri yang mendambakan kasih sayang Allah.
Setelah Ibrahim suaminya tercinta berlalu dari
pandangannya, Hajar meletakan buah hatinya Isma’il pada tanah pasir, kemudian
beliau melihat ke sekelilingnya berharap bertemu dengan suatu kafilah yang
lewat yang hendak diminta pertolongannya.
Hajar lalu pergi ke suatu bukit, yakni bukit Shafa.
Setelah sampai di bukit,beliau melihat ke sekelilingnya dengan harapan ada
orang atau kafilah yang lewat yang ia bisa mintakan pertolongannya. Beliau
merasakan tidak adanya tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat.
Kemudian beliau turun menuju bukit yang satunya,
ketika lewat di depan anaknya Isma’il beliau berjalan agak cepat dan meneruskan
jalannya menuju bukit satunya lagi yakni bukit Marwah. Lagi-lagi beliau melihat
ke sekelilingnya di atas bukit Marwah itu. Hajar merasakan tidak adanya
tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat begitu pula dengan tanda-tanda
kehidupan.
Perbekalan yang cuma air itu pun sudah hampir habis,
demikian pula air susunya pun tidak keluar, beliau sangat panik dan khawatir.
Hajar kemudian turun dari bukit Marwah kembali lagi menuju bukit Shafa dengan
maksud yang sama. Bingung, gelisah jiwa Hajar saat itu, tidak ada orang yang
bisa ia minta bantuannya. Dan lagi sang buah hatinya Isma’il kelihatan sangat
kehausan begitu pula dengan dirinya, beliau bertambah panik dan khawatir.
Beliau berlari lagi menuju bukit Shafa berharap semoga
bertemu dengan seseorang atau suatu kafilah, merasa tidak menemukan apa-apa
kemudian beliau lari lagi menuju bukit Marwah dan seterusnya begitu sebanyak
tujuh kali.
Kisah ketabahan Siti Hajar turut mempunyai kaitan dan
falsafah penting ketika umat Islam menunaikan ibadat haji sekarang. Karena
kisah Siti Hajar inilah, jemaah yang sedang mengerjakan umrah atau haji, mereka
dirukunkan selepas tawaf di Batitullah al-Haram, menunaikan sa’i dari bukit
Shafa ke bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Hal itu dilakukan bertujuan
mengingati kembali falsafah penderitaan yang ditanggung Siti Hajar itu.
Maha Suci Allah, yang tidak pernah menyelisihi
janji-Nya, sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat. Allah ‘azza wa jalla
akan memberikan jalan keluar atau solusi, memberikan rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka bagi hambanya yang bertaqwa dan bertawakal kepada-Nya.
Demikian pula dengan Hajar, istri dari sang kekasih Allah, keduanya adalah
hamba Allah yang sangat dekat kepada-Nya.
Di tengah-tengah kekalutan dan kebingungannya, (dalam
suatu riwayat) muncullah mata air yang letaknya dekat dengan Isma’il. Melihat
hal itu Hajar segera bergegas menuju mata air tersebut dan berkata. ”Zum, zum!”
yang artinya ‘berkumpullah’. Hajar kemudian minum dari mata air yang diberkahi
dan memberikan pula kepada anaknya Isma’il minum dari air tersebut, Hajar
sangat bersyukur sekali atas karunia dari Allah subhanahu wa ta’alla tersebut.
Pertolongan Allah ‘azza wa jalla tidak berhenti sampai
di situ saja, selang tidak seberapa lama munculah suatu kafilah yang berjalan menuju
tempat Hajar beserta anaknya. Kafilah itu meminta izin kepada Hajar untuk
mengambil air Zam-zam itu dan mereka pun bermaksud untuk tinggal bersama dengan
Hajar. Hajar tentu saja sangat senang dan menyambut gembira tawaran baik
tersebut, beliau akhirnya tidak sendirian lagi.
Inilah gambaran sorang wanita muslim yang selalu taat
kepada Allah. Ia percaya bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas
kemampuannya. Maka dari itu ia selalu taat dengan apa yang diperintahkan-Nya.
Keyakinan bahwa, jika ia berhasil melewati ujian itu dengan baik, maka Allah
akan memberikan balasan yang sepadan dengan apa yang telah ia jalankan bahkan
mungkin lebih dari itu.
Hikmah lain yang dapat kita ambil
dari perjalanan ini adalah dalam menikmati sebuah proses dalam kehidupan
diperlukan kesabaran yang bukan berarti diam. Dengan berlarinya Hajar di antara
shafa dan marwa, adalah bentuk ketakwaan yang ditunjukkan melalui satu upaya
(ikhtiar) sebatas yang bisa dilakukan oleh dirinya pada sat itu.

izin copas ya
BalasHapus