background image

Current Items in Store

Selasa, 03 Desember 2013

Baju anak-anak
cocok untuk mengajak anak ka acara-acara resmi, kain dalam yang lembut membuat anak merasa nyaman menggunakannya

Senin, 06 Mei 2013

Siti Hajar : Istri Nabi Ibrahim


Pengorbanan Siti Hajar

Nabi Ibrahim dan Siti Sarah sudah lama berumah tangga, namun mereka tidak juga dikurniakan buah hati. Siti Sarah mengharapkan supaya Nabi Ibrahim menikah kembali. Siti Sarah merestui Siti Hajar menjadi istri suaminya. Pada mulanya, Nabi Ibrahim keberatan untuk menikah kembali dengan wanita lain. Namun, Siti Sarah bersikeras dan akhirnya Nabi Ibrahim setuju untuk memperistrikan Siti Hajar.
Pernikahan yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar telah membuahkan buah hati dalam rahim Siti Hajar. Nabi Ibrahim sangat gembira dengan kabar tersebut. Ia mengharapkan Siti Sarah turut merasakan kegembiraan atas kehamilan Siti Hajar. Namun, berita kehamilan itu Justru membuatkan Siti Sarah tidak senang.
Kian hari rasa cemburunya kian menebal, terutama selepas kelahiran Ismail, hingga Siti Sarah mengadukan kepada suaminya bahwa ia tak ingin lagi melihat batang hidung Siti Hajar dan anaknya. Ia menyuruh Nabi Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan anaknya pergi jauh, hingga ia tak kan bertemu lagi dengan Siti Hajar.
Nabi Ibrahim dan Siti Hajar serta anak mereka lantas menuju ke Baitul Haram. Nabi Ibrahim membawa istrinya Hajar dan anak semata wayangnya Isma’il menuju suatu lembah yang tidak ada rumput yang tumbuh sekalipun dan hanya meninggalkan air (dalam sebuah riwayat, airnya pun tinggal sedikit).
Setelah Nabi Ibrahim menempatkan anak dan istrinya itu kemudian beliau berbalik badan untuk kembali lagi ke daerah asalnya. Nabi Ibrahim bergegas pulang dengan menitihkan air mata namun beliau tidak menoleh ke belakang walaupun istrinya Hajar berkali-kali memanggil beliau. Nabi Ibrahim tidak memperdulikan panggilan dari isterinya dan tetap melanjutkan langkahnya yang berat.
Hajar mengejar suaminya dan berkata, ”Apakah Allah yang memerintahkan kepadamu untuk melakukan ini?” Ibrahim menjawab pendek, ”Benar.” Maka keluarlah suatu pernyataan dari Hajar yang melukiskan ketegaran dan ketawakalan jiwa beliau. ”Kalau Allah yang memerintakan demikian ini, niscaya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.” Itulah suatu pernyataan yang keluar dari seorang hamba yang menunjukkan kekuatan iman dan ketinggian sikap tawakalnya yang mendapat tarbiyah dari seorang hamba yang pilihan juga, Ibrahim sang Kekasih Allah.
Siti Hajar adalah lambang wanita sejati yang taat kepada suami dan perintah Allah. Segala kesukaran, kepahitan, keresahan yang ditempuh Siti Hajar bersama anak kecilnya, Ismail ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim di tengah-tengah padang pasir kering kerontang, adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan seorang isteri kepada peraturan suaminya.
Contoh yang ditunjukkan oleh Siti Hajar, yang sanggup menempuh berbagai kesusahan hidup semata-mata kerana ketaatannya terhadap perintah Allah dan suaminya. Hal ini adalah suatu contoh cukup baik untuk diteladani bagi setiap istri yang mendambakan kasih sayang Allah.
Setelah Ibrahim suaminya tercinta berlalu dari pandangannya, Hajar meletakan buah hatinya Isma’il pada tanah pasir, kemudian beliau melihat ke sekelilingnya berharap bertemu dengan suatu kafilah yang lewat yang hendak diminta pertolongannya.
Hajar lalu pergi ke suatu bukit, yakni bukit Shafa. Setelah sampai di bukit,beliau melihat ke sekelilingnya dengan harapan ada orang atau kafilah yang lewat yang ia bisa mintakan pertolongannya. Beliau merasakan tidak adanya tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat.
Kemudian beliau turun menuju bukit yang satunya, ketika lewat di depan anaknya Isma’il beliau berjalan agak cepat dan meneruskan jalannya menuju bukit satunya lagi yakni bukit Marwah. Lagi-lagi beliau melihat ke sekelilingnya di atas bukit Marwah itu. Hajar merasakan tidak adanya tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat begitu pula dengan tanda-tanda kehidupan.
Perbekalan yang cuma air itu pun sudah hampir habis, demikian pula air susunya pun tidak keluar, beliau sangat panik dan khawatir. Hajar kemudian turun dari bukit Marwah kembali lagi menuju bukit Shafa dengan maksud yang sama. Bingung, gelisah jiwa Hajar saat itu, tidak ada orang yang bisa ia minta bantuannya. Dan lagi sang buah hatinya Isma’il kelihatan sangat kehausan begitu pula dengan dirinya, beliau bertambah panik dan khawatir.
Beliau berlari lagi menuju bukit Shafa berharap semoga bertemu dengan seseorang atau suatu kafilah, merasa tidak menemukan apa-apa kemudian beliau lari lagi menuju bukit Marwah dan seterusnya begitu sebanyak tujuh kali.
Kisah ketabahan Siti Hajar turut mempunyai kaitan dan falsafah penting ketika umat Islam menunaikan ibadat haji sekarang. Karena kisah Siti Hajar inilah, jemaah yang sedang mengerjakan umrah atau haji, mereka dirukunkan selepas tawaf di Batitullah al-Haram, menunaikan sa’i dari bukit Shafa ke bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Hal itu dilakukan bertujuan mengingati kembali falsafah penderitaan yang ditanggung Siti Hajar itu.
Maha Suci Allah, yang tidak pernah menyelisihi janji-Nya, sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat. Allah ‘azza wa jalla akan memberikan jalan keluar atau solusi, memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka bagi hambanya yang bertaqwa dan bertawakal kepada-Nya. Demikian pula dengan Hajar, istri dari sang kekasih Allah, keduanya adalah hamba Allah yang sangat dekat kepada-Nya.
Di tengah-tengah kekalutan dan kebingungannya, (dalam suatu riwayat) muncullah mata air yang letaknya dekat dengan Isma’il. Melihat hal itu Hajar segera bergegas menuju mata air tersebut dan berkata. ”Zum, zum!” yang artinya ‘berkumpullah’. Hajar kemudian minum dari mata air yang diberkahi dan memberikan pula kepada anaknya Isma’il minum dari air tersebut, Hajar sangat bersyukur sekali atas karunia dari Allah subhanahu wa ta’alla tersebut.
Pertolongan Allah ‘azza wa jalla tidak berhenti sampai di situ saja, selang tidak seberapa lama munculah suatu kafilah yang berjalan menuju tempat Hajar beserta anaknya. Kafilah itu meminta izin kepada Hajar untuk mengambil air Zam-zam itu dan mereka pun bermaksud untuk tinggal bersama dengan Hajar. Hajar tentu saja sangat senang dan menyambut gembira tawaran baik tersebut, beliau akhirnya tidak sendirian lagi.
Inilah gambaran sorang wanita muslim yang selalu taat kepada Allah. Ia percaya bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Maka dari itu ia selalu taat dengan apa yang diperintahkan-Nya. Keyakinan bahwa, jika ia berhasil melewati ujian itu dengan baik, maka Allah akan memberikan balasan yang sepadan dengan apa yang telah ia jalankan bahkan mungkin lebih dari itu.
Hikmah lain yang dapat kita ambil dari perjalanan ini adalah dalam menikmati sebuah proses dalam kehidupan diperlukan kesabaran yang bukan berarti diam. Dengan berlarinya Hajar di antara shafa dan marwa, adalah bentuk ketakwaan yang ditunjukkan melalui satu upaya (ikhtiar) sebatas yang bisa dilakukan oleh dirinya pada sat itu.

Wanita Sahabat Nabi


Khaulah Binti Tsa’labah (Wanita yang Aduannya Didengar Allah)

Rini Ummu Rahaykal

Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah Ghanam bin Áuf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Áus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan yang disertai Rasulullah SAW. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam masalah yang membuat Aus marah, dia berkata : “Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk bersama orang-orang. Beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan  perasaan khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam. Khaulah berkata : “Demi yang jiwa khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulllah SAW, lalu dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan dialog dengan nabi tentang urusan tersebut. Rasulullah SAW bersabbda Kami belum pernah mendapati perintah berkenaan urusan tersebut… aku melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita mukminah ini mengulangi perkataannya dan penjelasan kepada Rasulullah SAW apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika ia harus cerai dengan suaminya, namun Rasulullah SAW tetap menjawab “Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada yang tiada akan rugi siapapun yang berdoa kepada-Nya. Beliau berdoá “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminin semacam khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah dan berdialog untuk menerima fatwa, adapun istighasyah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah taála. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.
Tiada henti-hentinya wanita ini berdoá sehingga suatu ketika Rasulullah SAW pingsan sebagaimana biasa beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan Al Qurán tentang dirimu dan suamimu,” kemudian beliau membaca firman-Nya
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mendengar lagi Maha melihat. Orang-orang yang menzhihar istri diantara kamu, tiadalah istri mereka itu adalah ibunya. Ibu-ibu mereka itu tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan perkataan sungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri tersebut bersama kembali. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Atau jika tidak didapati seorang budak maka wajib bagi mereka berpuasa dua bulan berturt-turut, atau bisa juga dengan memberi makan 60 orang miskin.
Kemudian Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zihar:
“Perintahkan kepada suami Khaulah untuk memerdekakan seorang budak.”
Khaulah menjawab “Ya Rasulullah... dia tidak memiliki seorang budak yang bisa ia merdekakan”
“Jika demikian perintahkan kepadanya untuk Shaum dua bulan berturut-turut.”
“Demi Allah, dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.”
“Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin.”
“Demi Allah, Ya Rasulullah... dia tidak memilikinya.”
“Aku bantu dengan separuhnya.”
“Aku bantu separuhnya yang lain, Wahai Rasulullah.”
“Engkau benar dan baik, maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaullah dengan anak pamanmu itu secara baik”
Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak anak Adam yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian islam terhadapnya.
Ummul mukminin Aisyah r.a. berkata tentang hal ini; “Segala puji bagi Allah yang maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah SAW, berbincang-bincang dengan Rasulullah SAW. Sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa-apa yang dia katakan. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat “Sesungguhnya Allah telah mendengar perktaan wanita yang mengajukan gagatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukannya kepada Allah”
Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khattab r.a. Saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata “Wahai Umar, aku telah mengenalmu semenjak namamu dahulu masih Umair tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau menggembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu. Ketahuilah barang siapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barang siapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Azab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul mu’minin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi Al Jarud al Abdi yang menyertai Umar bin Khattab tidak tahan dan mengatakan kepada Khaulah “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul mu’minin wahai wanita!” Umar kemudian menegurnya “Biarlah dia… tahukah kamu ? siapakah dia ? beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ke tujuh,” maka umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab berkata “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mendengarkan shalat kemudian mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.


Kisah Sahabat Nabi


Khaulah Binti Tsa’labah (Wanita yang Aduannya Didengar Allah)

Rini Ummu Rahaykal

Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah Ghanam bin Áuf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Áus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan yang disertai Rasulullah SAW. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam masalah yang membuat Aus marah, dia berkata : “Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk bersama orang-orang. Beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan  perasaan khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam. Khaulah berkata : “Demi yang jiwa khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulllah SAW, lalu dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan dialog dengan nabi tentang urusan tersebut. Rasulullah SAW bersabbda Kami belum pernah mendapati perintah berkenaan urusan tersebut… aku melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita mukminah ini mengulangi perkataannya dan penjelasan kepada Rasulullah SAW apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika ia harus cerai dengan suaminya, namun Rasulullah SAW tetap menjawab “Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada yang tiada akan rugi siapapun yang berdoa kepada-Nya. Beliau berdoá “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminin semacam khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah dan berdialog untuk menerima fatwa, adapun istighasyah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah taála. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.
Tiada henti-hentinya wanita ini berdoá sehingga suatu ketika Rasulullah SAW pingsan sebagaimana biasa beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan Al Qurán tentang dirimu dan suamimu,” kemudian beliau membaca firman-Nya
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mendengar lagi Maha melihat. Orang-orang yang menzhihar istri diantara kamu, tiadalah istri mereka itu adalah ibunya. Ibu-ibu mereka itu tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan perkataan sungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri tersebut bersama kembali. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Atau jika tidak didapati seorang budak maka wajib bagi mereka berpuasa dua bulan berturt-turut, atau bisa juga dengan memberi makan 60 orang miskin.
Kemudian Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zihar:
“Perintahkan kepada suami Khaulah untuk memerdekakan seorang budak.”
Khaulah menjawab “Ya Rasulullah... dia tidak memiliki seorang budak yang bisa ia merdekakan”
“Jika demikian perintahkan kepadanya untuk Shaum dua bulan berturut-turut.”
“Demi Allah, dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.”
“Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin.”
“Demi Allah, Ya Rasulullah... dia tidak memilikinya.”
“Aku bantu dengan separuhnya.”
“Aku bantu separuhnya yang lain, Wahai Rasulullah.”
“Engkau benar dan baik, maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaullah dengan anak pamanmu itu secara baik”
Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak anak Adam yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian islam terhadapnya.
Ummul mukminin Aisyah r.a. berkata tentang hal ini; “Segala puji bagi Allah yang maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah SAW, berbincang-bincang dengan Rasulullah SAW. Sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa-apa yang dia katakan. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat “Sesungguhnya Allah telah mendengar perktaan wanita yang mengajukan gagatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukannya kepada Allah”
Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khattab r.a. Saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata “Wahai Umar, aku telah mengenalmu semenjak namamu dahulu masih Umair tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau menggembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu. Ketahuilah barang siapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barang siapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Azab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul mu’minin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi Al Jarud al Abdi yang menyertai Umar bin Khattab tidak tahan dan mengatakan kepada Khaulah “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul mu’minin wahai wanita!” Umar kemudian menegurnya “Biarlah dia… tahukah kamu ? siapakah dia ? beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ke tujuh,” maka umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab berkata “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mendengarkan shalat kemudian mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.