Baju anak-anak
cocok untuk mengajak anak ka acara-acara resmi, kain dalam yang lembut membuat anak merasa nyaman menggunakannya
Current Items in Store
Selasa, 03 Desember 2013
Senin, 06 Mei 2013
Siti Hajar : Istri Nabi Ibrahim
Pengorbanan
Siti Hajar
Nabi Ibrahim dan Siti Sarah sudah lama berumah tangga,
namun mereka tidak juga dikurniakan buah hati. Siti Sarah mengharapkan supaya
Nabi Ibrahim menikah kembali. Siti Sarah merestui Siti Hajar menjadi istri
suaminya. Pada mulanya, Nabi Ibrahim keberatan untuk menikah kembali dengan
wanita lain. Namun, Siti Sarah bersikeras dan akhirnya Nabi Ibrahim setuju untuk
memperistrikan Siti Hajar.
Pernikahan yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar
telah membuahkan buah hati dalam rahim Siti Hajar. Nabi Ibrahim sangat gembira
dengan kabar tersebut. Ia mengharapkan Siti Sarah turut merasakan kegembiraan
atas kehamilan Siti Hajar. Namun, berita kehamilan itu Justru membuatkan Siti
Sarah tidak senang.
Kian hari rasa cemburunya kian menebal, terutama
selepas kelahiran Ismail, hingga Siti Sarah mengadukan kepada suaminya bahwa ia
tak ingin lagi melihat batang hidung Siti Hajar dan anaknya. Ia menyuruh Nabi
Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan anaknya pergi jauh, hingga ia tak kan bertemu
lagi dengan Siti Hajar.
Nabi Ibrahim dan Siti Hajar serta anak mereka lantas
menuju ke Baitul Haram. Nabi Ibrahim membawa istrinya Hajar dan anak semata
wayangnya Isma’il menuju suatu lembah yang tidak ada rumput yang tumbuh
sekalipun dan hanya meninggalkan air (dalam sebuah riwayat, airnya pun tinggal
sedikit).
Setelah Nabi Ibrahim menempatkan anak dan istrinya itu
kemudian beliau berbalik badan untuk kembali lagi ke daerah asalnya. Nabi
Ibrahim bergegas pulang dengan menitihkan air mata namun beliau tidak menoleh
ke belakang walaupun istrinya Hajar berkali-kali memanggil beliau. Nabi Ibrahim
tidak memperdulikan panggilan dari isterinya dan tetap melanjutkan langkahnya
yang berat.
Hajar mengejar suaminya dan berkata, ”Apakah Allah
yang memerintahkan kepadamu untuk melakukan ini?” Ibrahim menjawab pendek,
”Benar.” Maka keluarlah suatu pernyataan dari Hajar yang melukiskan ketegaran
dan ketawakalan jiwa beliau. ”Kalau Allah yang memerintakan demikian ini,
niscaya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.” Itulah suatu pernyataan yang
keluar dari seorang hamba yang menunjukkan kekuatan iman dan ketinggian sikap
tawakalnya yang mendapat tarbiyah dari seorang hamba yang pilihan juga, Ibrahim
sang Kekasih Allah.
Siti Hajar adalah lambang wanita sejati yang taat
kepada suami dan perintah Allah. Segala kesukaran, kepahitan, keresahan yang
ditempuh Siti Hajar bersama anak kecilnya, Ismail ketika ditinggalkan Nabi
Ibrahim di tengah-tengah padang pasir kering kerontang, adalah lambang
kesetiaan dan kepatuhan seorang isteri kepada peraturan suaminya.
Contoh yang ditunjukkan oleh Siti Hajar, yang sanggup
menempuh berbagai kesusahan hidup semata-mata kerana ketaatannya terhadap
perintah Allah dan suaminya. Hal ini adalah suatu contoh cukup baik untuk
diteladani bagi setiap istri yang mendambakan kasih sayang Allah.
Setelah Ibrahim suaminya tercinta berlalu dari
pandangannya, Hajar meletakan buah hatinya Isma’il pada tanah pasir, kemudian
beliau melihat ke sekelilingnya berharap bertemu dengan suatu kafilah yang
lewat yang hendak diminta pertolongannya.
Hajar lalu pergi ke suatu bukit, yakni bukit Shafa.
Setelah sampai di bukit,beliau melihat ke sekelilingnya dengan harapan ada
orang atau kafilah yang lewat yang ia bisa mintakan pertolongannya. Beliau
merasakan tidak adanya tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat.
Kemudian beliau turun menuju bukit yang satunya,
ketika lewat di depan anaknya Isma’il beliau berjalan agak cepat dan meneruskan
jalannya menuju bukit satunya lagi yakni bukit Marwah. Lagi-lagi beliau melihat
ke sekelilingnya di atas bukit Marwah itu. Hajar merasakan tidak adanya
tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat begitu pula dengan tanda-tanda
kehidupan.
Perbekalan yang cuma air itu pun sudah hampir habis,
demikian pula air susunya pun tidak keluar, beliau sangat panik dan khawatir.
Hajar kemudian turun dari bukit Marwah kembali lagi menuju bukit Shafa dengan
maksud yang sama. Bingung, gelisah jiwa Hajar saat itu, tidak ada orang yang
bisa ia minta bantuannya. Dan lagi sang buah hatinya Isma’il kelihatan sangat
kehausan begitu pula dengan dirinya, beliau bertambah panik dan khawatir.
Beliau berlari lagi menuju bukit Shafa berharap semoga
bertemu dengan seseorang atau suatu kafilah, merasa tidak menemukan apa-apa
kemudian beliau lari lagi menuju bukit Marwah dan seterusnya begitu sebanyak
tujuh kali.
Kisah ketabahan Siti Hajar turut mempunyai kaitan dan
falsafah penting ketika umat Islam menunaikan ibadat haji sekarang. Karena
kisah Siti Hajar inilah, jemaah yang sedang mengerjakan umrah atau haji, mereka
dirukunkan selepas tawaf di Batitullah al-Haram, menunaikan sa’i dari bukit
Shafa ke bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Hal itu dilakukan bertujuan
mengingati kembali falsafah penderitaan yang ditanggung Siti Hajar itu.
Maha Suci Allah, yang tidak pernah menyelisihi
janji-Nya, sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat. Allah ‘azza wa jalla
akan memberikan jalan keluar atau solusi, memberikan rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka bagi hambanya yang bertaqwa dan bertawakal kepada-Nya.
Demikian pula dengan Hajar, istri dari sang kekasih Allah, keduanya adalah
hamba Allah yang sangat dekat kepada-Nya.
Di tengah-tengah kekalutan dan kebingungannya, (dalam
suatu riwayat) muncullah mata air yang letaknya dekat dengan Isma’il. Melihat
hal itu Hajar segera bergegas menuju mata air tersebut dan berkata. ”Zum, zum!”
yang artinya ‘berkumpullah’. Hajar kemudian minum dari mata air yang diberkahi
dan memberikan pula kepada anaknya Isma’il minum dari air tersebut, Hajar
sangat bersyukur sekali atas karunia dari Allah subhanahu wa ta’alla tersebut.
Pertolongan Allah ‘azza wa jalla tidak berhenti sampai
di situ saja, selang tidak seberapa lama munculah suatu kafilah yang berjalan menuju
tempat Hajar beserta anaknya. Kafilah itu meminta izin kepada Hajar untuk
mengambil air Zam-zam itu dan mereka pun bermaksud untuk tinggal bersama dengan
Hajar. Hajar tentu saja sangat senang dan menyambut gembira tawaran baik
tersebut, beliau akhirnya tidak sendirian lagi.
Inilah gambaran sorang wanita muslim yang selalu taat
kepada Allah. Ia percaya bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas
kemampuannya. Maka dari itu ia selalu taat dengan apa yang diperintahkan-Nya.
Keyakinan bahwa, jika ia berhasil melewati ujian itu dengan baik, maka Allah
akan memberikan balasan yang sepadan dengan apa yang telah ia jalankan bahkan
mungkin lebih dari itu.
Hikmah lain yang dapat kita ambil
dari perjalanan ini adalah dalam menikmati sebuah proses dalam kehidupan
diperlukan kesabaran yang bukan berarti diam. Dengan berlarinya Hajar di antara
shafa dan marwa, adalah bentuk ketakwaan yang ditunjukkan melalui satu upaya
(ikhtiar) sebatas yang bisa dilakukan oleh dirinya pada sat itu.
Wanita Sahabat Nabi
Khaulah Binti Tsa’labah (Wanita yang Aduannya Didengar Allah)
Rini Ummu Rahaykal
Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah
Ghanam bin Áuf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau
dinikahi oleh Áus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang
beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan
yang disertai Rasulullah SAW. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak
laki-laki yang bernama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam masalah
yang membuat Aus marah, dia berkata : “Bagiku engkau ini seperti punggung
ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk
bersama orang-orang. Beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan khaulah.
Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan
perasaan khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap
kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam. Khaulah berkata :
“Demi yang jiwa khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku
karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku
sehingga Allah dan Rasul-Nya yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang
menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulllah SAW, lalu dia duduk di hadapan
beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya.
Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan dialog dengan nabi tentang urusan
tersebut. Rasulullah SAW bersabbda Kami belum pernah mendapati perintah berkenaan
urusan tersebut… aku melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita mukminah ini mengulangi perkataannya dan penjelasan kepada
Rasulullah SAW apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika ia harus cerai dengan
suaminya, namun Rasulullah SAW tetap menjawab “Aku tidak melihat melainkan
engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke
langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua
matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau
menghadap kepada yang tiada akan rugi siapapun yang berdoa kepada-Nya. Beliau
berdoá “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang
menimpa diriku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminin semacam khaulah, beliau
berdiri di hadapan Rasulullah dan berdialog untuk menerima fatwa, adapun
istighasyah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah taála. Ini adalah
bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat
kepada Rasulullah saw.
Tiada henti-hentinya wanita ini berdoá sehingga suatu ketika Rasulullah
SAW pingsan sebagaimana biasa beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian
setelah rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda “Wahai Khaulah, sungguh
Allah telah menurunkan Al Qurán tentang dirimu dan suamimu,” kemudian beliau
membaca firman-Nya
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mendengar lagi Maha melihat. Orang-orang yang
menzhihar istri diantara kamu, tiadalah istri mereka itu adalah ibunya. Ibu-ibu
mereka itu tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan perkataan sungkar dan dusta. Dan sesungguhnya
Allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib
atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri tersebut bersama kembali.
Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Atau jika tidak didapati seorang budak maka wajib bagi mereka berpuasa
dua bulan berturt-turut, atau bisa juga dengan memberi makan 60 orang miskin.
Kemudian
Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zihar:
“Perintahkan
kepada suami Khaulah untuk memerdekakan seorang budak.”
Khaulah
menjawab “Ya Rasulullah... dia tidak memiliki seorang budak yang bisa ia
merdekakan”
“Jika demikian
perintahkan kepadanya untuk Shaum dua bulan berturut-turut.”
“Demi Allah,
dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.”
“Perintahkan
kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin.”
“Demi Allah, Ya
Rasulullah... dia tidak memilikinya.”
“Aku bantu
dengan separuhnya.”
“Aku bantu
separuhnya yang lain, Wahai Rasulullah.”
“Engkau benar
dan baik, maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya,
kemudian bergaullah dengan anak pamanmu itu secara baik”
Inilah kisah
seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak anak Adam yang
mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang
wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia
dan besar perhatian islam terhadapnya.
Ummul mukminin
Aisyah r.a. berkata tentang hal ini; “Segala puji bagi Allah yang maha luas
pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang
mengajukan gugatan kepada Rasulullah SAW, berbincang-bincang dengan Rasulullah
SAW. Sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa-apa yang dia
katakan. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat “Sesungguhnya Allah
telah mendengar perktaan wanita yang mengajukan gagatan kepada kamu tentang
suaminya dan mengadukannya kepada Allah”
Inilah wanita
mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khattab
r.a. Saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau
berkata “Wahai Umar, aku telah mengenalmu semenjak namamu dahulu masih Umair
tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau menggembala kambing dengan
tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul
Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu. Ketahuilah barang
siapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya
dan barang siapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa
yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Azab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul mu’minin
berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi Al Jarud al Abdi yang menyertai Umar bin Khattab tidak tahan
dan mengatakan kepada Khaulah “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul
mu’minin wahai wanita!” Umar kemudian menegurnya “Biarlah dia… tahukah kamu ? siapakah
dia ? beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit
yang ke tujuh,” maka umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab berkata “Demi Allah seandainya
beliau tidak menyudahi nasehatnya sehingga beliau selesaikan apa yang dia
kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mendengarkan
shalat kemudian mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.
Kisah Sahabat Nabi
Khaulah Binti Tsa’labah (Wanita yang Aduannya Didengar Allah)
Rini Ummu Rahaykal
Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah
Ghanam bin Áuf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau
dinikahi oleh Áus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang
beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan
yang disertai Rasulullah SAW. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak
laki-laki yang bernama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam masalah
yang membuat Aus marah, dia berkata : “Bagiku engkau ini seperti punggung
ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk
bersama orang-orang. Beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan khaulah.
Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan
perasaan khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap
kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam. Khaulah berkata :
“Demi yang jiwa khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku
karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku
sehingga Allah dan Rasul-Nya yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang
menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulllah SAW, lalu dia duduk di hadapan
beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya.
Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan dialog dengan nabi tentang urusan
tersebut. Rasulullah SAW bersabbda Kami belum pernah mendapati perintah berkenaan
urusan tersebut… aku melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita mukminah ini mengulangi perkataannya dan penjelasan kepada
Rasulullah SAW apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika ia harus cerai dengan
suaminya, namun Rasulullah SAW tetap menjawab “Aku tidak melihat melainkan
engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke
langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua
matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau
menghadap kepada yang tiada akan rugi siapapun yang berdoa kepada-Nya. Beliau
berdoá “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang
menimpa diriku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminin semacam khaulah, beliau
berdiri di hadapan Rasulullah dan berdialog untuk menerima fatwa, adapun
istighasyah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah taála. Ini adalah
bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat
kepada Rasulullah saw.
Tiada henti-hentinya wanita ini berdoá sehingga suatu ketika Rasulullah
SAW pingsan sebagaimana biasa beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian
setelah rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda “Wahai Khaulah, sungguh
Allah telah menurunkan Al Qurán tentang dirimu dan suamimu,” kemudian beliau
membaca firman-Nya
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mendengar lagi Maha melihat. Orang-orang yang
menzhihar istri diantara kamu, tiadalah istri mereka itu adalah ibunya. Ibu-ibu
mereka itu tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan perkataan sungkar dan dusta. Dan sesungguhnya
Allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib
atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri tersebut bersama kembali.
Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Atau jika tidak didapati seorang budak maka wajib bagi mereka berpuasa
dua bulan berturt-turut, atau bisa juga dengan memberi makan 60 orang miskin.
Kemudian
Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zihar:
“Perintahkan
kepada suami Khaulah untuk memerdekakan seorang budak.”
Khaulah
menjawab “Ya Rasulullah... dia tidak memiliki seorang budak yang bisa ia
merdekakan”
“Jika demikian
perintahkan kepadanya untuk Shaum dua bulan berturut-turut.”
“Demi Allah,
dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.”
“Perintahkan
kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin.”
“Demi Allah, Ya
Rasulullah... dia tidak memilikinya.”
“Aku bantu
dengan separuhnya.”
“Aku bantu
separuhnya yang lain, Wahai Rasulullah.”
“Engkau benar
dan baik, maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya,
kemudian bergaullah dengan anak pamanmu itu secara baik”
Inilah kisah
seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak anak Adam yang
mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang
wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia
dan besar perhatian islam terhadapnya.
Ummul mukminin
Aisyah r.a. berkata tentang hal ini; “Segala puji bagi Allah yang maha luas
pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang
mengajukan gugatan kepada Rasulullah SAW, berbincang-bincang dengan Rasulullah
SAW. Sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa-apa yang dia
katakan. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat “Sesungguhnya Allah
telah mendengar perktaan wanita yang mengajukan gagatan kepada kamu tentang
suaminya dan mengadukannya kepada Allah”
Inilah wanita
mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khattab
r.a. Saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau
berkata “Wahai Umar, aku telah mengenalmu semenjak namamu dahulu masih Umair
tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau menggembala kambing dengan
tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul
Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu. Ketahuilah barang
siapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya
dan barang siapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa
yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Azab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul mu’minin
berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi Al Jarud al Abdi yang menyertai Umar bin Khattab tidak tahan
dan mengatakan kepada Khaulah “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul
mu’minin wahai wanita!” Umar kemudian menegurnya “Biarlah dia… tahukah kamu ? siapakah
dia ? beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit
yang ke tujuh,” maka umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab berkata “Demi Allah seandainya
beliau tidak menyudahi nasehatnya sehingga beliau selesaikan apa yang dia
kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mendengarkan
shalat kemudian mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.
Langganan:
Komentar (Atom)