background image

Senin, 06 Mei 2013

Wanita Sahabat Nabi


Khaulah Binti Tsa’labah (Wanita yang Aduannya Didengar Allah)

Rini Ummu Rahaykal

Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah Ghanam bin Áuf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Áus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan yang disertai Rasulullah SAW. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam masalah yang membuat Aus marah, dia berkata : “Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk bersama orang-orang. Beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan  perasaan khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam. Khaulah berkata : “Demi yang jiwa khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulllah SAW, lalu dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan dialog dengan nabi tentang urusan tersebut. Rasulullah SAW bersabbda Kami belum pernah mendapati perintah berkenaan urusan tersebut… aku melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita mukminah ini mengulangi perkataannya dan penjelasan kepada Rasulullah SAW apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika ia harus cerai dengan suaminya, namun Rasulullah SAW tetap menjawab “Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada yang tiada akan rugi siapapun yang berdoa kepada-Nya. Beliau berdoá “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminin semacam khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah dan berdialog untuk menerima fatwa, adapun istighasyah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah taála. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.
Tiada henti-hentinya wanita ini berdoá sehingga suatu ketika Rasulullah SAW pingsan sebagaimana biasa beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan Al Qurán tentang dirimu dan suamimu,” kemudian beliau membaca firman-Nya
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mendengar lagi Maha melihat. Orang-orang yang menzhihar istri diantara kamu, tiadalah istri mereka itu adalah ibunya. Ibu-ibu mereka itu tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan perkataan sungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri tersebut bersama kembali. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Atau jika tidak didapati seorang budak maka wajib bagi mereka berpuasa dua bulan berturt-turut, atau bisa juga dengan memberi makan 60 orang miskin.
Kemudian Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zihar:
“Perintahkan kepada suami Khaulah untuk memerdekakan seorang budak.”
Khaulah menjawab “Ya Rasulullah... dia tidak memiliki seorang budak yang bisa ia merdekakan”
“Jika demikian perintahkan kepadanya untuk Shaum dua bulan berturut-turut.”
“Demi Allah, dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.”
“Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin.”
“Demi Allah, Ya Rasulullah... dia tidak memilikinya.”
“Aku bantu dengan separuhnya.”
“Aku bantu separuhnya yang lain, Wahai Rasulullah.”
“Engkau benar dan baik, maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaullah dengan anak pamanmu itu secara baik”
Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak anak Adam yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian islam terhadapnya.
Ummul mukminin Aisyah r.a. berkata tentang hal ini; “Segala puji bagi Allah yang maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah SAW, berbincang-bincang dengan Rasulullah SAW. Sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa-apa yang dia katakan. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat “Sesungguhnya Allah telah mendengar perktaan wanita yang mengajukan gagatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukannya kepada Allah”
Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khattab r.a. Saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata “Wahai Umar, aku telah mengenalmu semenjak namamu dahulu masih Umair tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau menggembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu. Ketahuilah barang siapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barang siapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Azab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul mu’minin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi Al Jarud al Abdi yang menyertai Umar bin Khattab tidak tahan dan mengatakan kepada Khaulah “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul mu’minin wahai wanita!” Umar kemudian menegurnya “Biarlah dia… tahukah kamu ? siapakah dia ? beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ke tujuh,” maka umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab berkata “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mendengarkan shalat kemudian mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.


0 komentar:

Posting Komentar